Uang Pensiun, Halal Ataukah Haram?
UANG PENSIUN, HALAL ATAUKAH HARAM?
Oleh
Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan,MA
Untuk menjawab masalah yang cukup penting ini, kita perlu memiliki gambaran yang jelas tentang apa itu pension ? Apakah hakikat dari uang pensiunan ? Bagaimana seseorang bisa mendapatkannya ? Dan bagaimana sebenarnya pengelolaan uang pensiun tadi ?
Untuk itu, berikut ini penulis kutipkan beberapa hal dari brosur resmi yang diedarkan oleh Biro Dana Pensiun[1] dan dari sumber-sumber terkait lainnya sebagaimana berikut ini.
Ketika kita pada usia produktif dan bekerja, kita memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi yang bekerja pada sebuah pemberi kerja (perusahaan, lembaga pendidikan, dan lain-lain) umumnya menerima penghasilan secara rutin setiap bulan. Ketika kita mencapai usia pensiun, sebagian dari kita masih menerima penghasilan seraca rutin dari pemberi kerja, yaitu berupa uang pensiun. Adapun Program Pensiun adalah suatu program yang mengupayakan tersedianya uang pensiun (atau disebut juga manfaat pensiun) bagi pesertanya.
Definisi dana pensiun menurut UU No. 11/ 1992: Dana pensiun merupakan badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun bagi pesertanya.
Sejak diberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, di Indonesia hanya ada dua lembaga yang dapat menyelenggarakan program dana pensiun, yaitu Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK).
DPPK adalah sebuah lembaga yang dibuat oleh sebuah perusahaan guna mengelola dana pensiun para pekerjanya. Oleh karena itu, peserta DPPK hanya terbatas pada mereka yang terikat hubungan kerja dengan perusahaan yang membuat DPPK atau biasa disebut tertutup. Pengurus dari DPPK bukan pendiri, melainkan orang atau badan yang ditunjuk dan mendapatkan pengesahan Menteri untuk menjalankan dan mengelola dana pensiun. Sedang DPLK merupakan sebuah badan yang bisa didirikan oleh dua lembaga, yaitu Bank Umum dan Perusahan Asuransi Jiwa.
DPLK memiliki fungsi yang lebih luas dibanding dengan DPPK, yakni seluruh masyakarat, baik perorangan maupun kelompok dapat menjadi peserta dana pensiun. Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, terdapat tiga unsur yang terlibat dalam program pensiun melalui DPLK.
- Pertama, Peserta, yang menyetorkan iuran dan menikmati pensiun.
- Kedua, DPLK, yang menyelenggarakan program pensiun.
- Ketiga, Perusahaan Asuransi Jiwa, yang menyediakan fasilitas anuitas[2] sebagai manfaat pensiun yang diberikan secara berkala kepada peserta.
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pensiun adalah keadaan saat seseorang tidak lagi aktif bekerja sebagai pegawai atau karyawan di suatu perusahaan. Pun begitu, tidak hanya karyawan atau pegawai yang bisa mendapatkan uang pensiunan, namun semua orang bisa mendapatkannya dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana? Yaitu dengan mengikuti program dana pensiun. Bila ia seorang pegawai/karyawan, maka ia punya dua pilihan, yaitu mengikuti DPPK atau mengikuti DPLK. Sedangkan bila ia bukan pegawai/karyawan, maka hanya ada satu cara untuk mendapatkan dana pensiun, yaitu mengikuti DPLK.
Adapun program pensiun yang tersedia di Indonesia –sejauh penelitian kami- hanya ada dua.
Bagi yang mengikuti DPPK, biasanya dana pensiun dipotongkan dari gaji bulanan. Lalu dikelola oleh lembaga tertentu. Yang menjadi masalah ialah cara pengelolaan dana tersebut ? Apakah diinvestasikan untuk proyek-proyek halal, atau untuk proyek yang tidak jelas, atau justru untuk yang haram, seperti didepositokan di bank dan diserahkan kembali beserta bunganya (baca: riba) ?
Bila tidak ada kejelasan dalam hal ini, maka si karyawan/pegawai hanya berhak mendapatkan tak lebih dari total potongan gajinya selama ia bekerja di perusahaan tersebut. Adapun selebihnya adalah harta yang tidak jelas statusnya. Misalnya: A bekerja di perusahaan B selama 25 tahun, dengan gaji perbulan Rp 1,5 juta, dipotong Rp 100 ribu sebagai dana pensiun. Dengan begitu, selama 25 tahun -jika tidak ada perubahan- maka A telah membayar dana pensiun sebesar Rp 30 juta. Jadi, ia hanya berhak menerima dana pensiun total tidak lebih dari Rp. 30 juta, baik diberikan secara berangsur maupun sekaligus.
Alasannya, potongan gaji yang selama ini ia berikan kepada pengelola dan pension -yg tidak jelas cara pengelolaannya- identik dengan meminjamkan uang kepada si pengelola (qardh). Uang pensiunan yang dikembalikan ke si pegawai statusnya adalah badal (pengganti) yang senilai dari potongan gaji yang dahulu ia bayarkan, dan bukan benda yang sama. Ia tidak sama dengan wadi’ah (menitipkan barang tertentu) yang kemudian barang itu dikembalikan lagi dan tidak diganti dengan barang lain yang sejenis. Oleh karena itu, berlakulah hukum qardh dalam uang pensiunan yang asalnya dari potongan gaji ini.
Pengelolaan dana pensiun juga tidak bisa dianggap sebagai bentuk mudhârabah, karena dalam mudhârabah, pemodal memiliki hak penuh terhadap seluruh modalnya. Ia bisa meminta kembali modalnya selama belum digunakan. Dan ia harus siap kehilangan sebagian modal atau seluruhnya bila mudhârabah tersebut ternyata merugi, sebagaimana ia juga berpotensi mendapat keuntungan yang besar bila mudhârabah tersebut mendatangkan keuntungan. Artinya, dalam mudhârabah tidak ada jaminan modal kembali, namun kepemilikan modal tetap utuh di tangan pemodal. Sedangkan dalam pengelolaan dana pensiun, dana yang disetorkan otomatis keluar dari kepemilikan si penyetor. Ia tidak bisa diminta kembali atau dicairkan kecuali setelah yang bersangkutan (penyetor) dianggap pensiun, dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku. Akan tetapi, di sisi lain, uang yang disetorkan sifatnya terjamin (tidak akan hilang). Jadi, ia mirip dengan meminjamkan uang secara berangsur namun kontinyu kepada seseorang, untuk dikembalikan lagi dalam jumlah yang senilai setelah jangka waktu tertentu, baik secara berangsur maupun sekaligus. Inilah yang dalam istilah fiqih dikenal dengan nama qardh.
Dalam kaidah fiqih disebutkan :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
Setiap qardh (pinjaman uang) yang menarik manfaat tertentu, maka manfaat tersebut tergolong riba.
Jadi, bila si pemberi pinjaman (dalam hal ini adalah karyawan atau peserta DPPK) mendapatkan manfaat –apa pun bentuknya, baik jasa maupun benda- dari potongan gaji yang dibayarkannya, maka manfaat tersebut adalah riba. Intinya, ia hanya berhak mendapat uang pensiunan senilai dengan total potongan gaji yang dibayarkannya, tak lebih dari itu. Manfaat apa pun yang ia dapatkan selain itu, statusnya adalah riba.
Kecuali bila tambahan yang diberikan oleh si pengelola sifatnya murni sebagai hadiah yang sukarela, maka tidak mengapa. Akan tetapi, adakah pengelola yang seperti itu hari ini ? Ini bila cara pengelolaan uang tersebut tidak jelas. Namun bila ia jelas-jelas didepositokan atau ditabung di bank oleh si pengelola, atau diinvestasikan pada proyek-proyek yang tidak syar’i, maka jelaslah keuntungan yang didapat termasuk riba sekaligus harta haram.
Adapun bila dana pensiun tadi diinvestasikan pada proyek-proyek yang mubah/syar’i, lalu sebagian dari keuntungannya diberikan kepada si peserta dana pensiun setelah ia pensiun, maka dalam hal ini harus berlaku aturan mudhârabah. Artinya, dana tersebut tidak boleh dijamin pasti kembali, namun harus ada resiko yang ditanggung oleh si pemodal (yang dalam hal ini adalah karyawan yang dipotong gajinya). Ia harus siap merugi (berkurang modalnya) atau bahkan kehilangan modal, sebagaimana ia berpotensi mendapat keuntungan pula dari modalnya. Dan kepemilikan modal tetap berada di tangannya secara penuh. Masalahnya, adakah aturan-aturan seperti ini berlaku dalam pengelolaan dana pension ? Agaknya tidak demikian, sehingga kesimpulannya, bahwa dana pensiun tersebut harus disikapi sebagai qardh, bukan sebagai mudhârabah.
Menurut Bapepam, sumber dana pensiun berasal dari Kekayaan dan Investasi. Kekayaan itu sendiri terdiri dari iuran normal (sumber utama kekayaan dana pensiun) dan iuran tambahan.
Iuran normal ada dua jenis. Pertama, Iuran Normal Pemberi Kerja, yang dibayarkan oleh pemberi kerja dan ditetapkan dengan perhitungan aktuaris. Kedua, Iuran Normal Peserta, yang dibayarkan oleh peserta dan ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
Kedua macam iuran ini berlaku untuk Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP). Dalam PPIP, besar kecilnya uang pensiun ditentukan oleh kumulasi dari seluruh iuran pensiun ditambah dengan hasil investasinya. Iuran pensiun bulanan bisa berasal hanya dari perusahaan saja, atau perusahaan dengan karyawan, dengan besaran tertentu.
Untuk Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP), besarnya iuran pensiun, khususnya iuran perusahaan ditetapkan dengan menggunakan perhitungan aktuaria, yang dilakukan secara berkala, minimal sekali dalam 3 tahun atau sewaktu-waktu dilakukan perubahan peraturan yang berdampak pada kewajiban pendanaan. Iuran perusahaan dibagi menjadi iuran normal dan iuran tambahan. Yang dimaksud dengan iuran normal, adalah iuran yang menjadi kewajiban perusahaan berdasarkan perhitungan aktuaris secara berkala. Sedangkan iuran tambahan, adalah iuran yang menjadi beban perusahaan bilamana terjadi perubahan peraturan yang berdampak pada pendanaan. Bila peserta juga ikut membayar iuran, besarnya sudah ditetapkan dengan prosentase tertentu, sedangkan iuran perusahaan bisa berubah-ubah, tergantung pada hasil dari perhitungan aktuaria; sebagaimana telah disinggung tadi, kekayaan Dana Pensiun berasal dari iuran pensiun dan hasil investasinya. Sedangkan investasinya terbatas pada bentuk-bentuk tertentu, yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 511/KMK. 06/2002 tentang Investasi Dana Pensiun sebagai berikut:
- Deposito Berjangka pada Bank.
- Deposito on callpada Bank.
- Sertifikat Deposito pada Bank.
- Saham yang tercatat di Bursa Efek (?)
- Obligasi yang tercatat di Bursa Efek.
- Penempatan langsung pada saham yang diterbitkan oleh badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia (?)
- Surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
- Tanah di Indonesia.
- Bangunan di Indonesia (?)
- Tanah dan bangunan di Indonesia (?)
- Unit penyertaan reksadana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Pasar Modal (?)
- Sertifikat Bank Indonesia; dan atau
- Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (?)
Enam bentuk investasi (yang bergaris bawah) di antaranya jelas-jelas haram, karena terkait langsung dengan sistem ribawi. Adapun lima bentuk lainnya (diberi tanda tanya), tergolong syubhat (tidak jelas). Dari sini, jelaslah bahwa dana pensiun yang diterima oleh pegawai/karyawan (baik yang bulanan maupun yang sekaligus) adalah campuran antara harta halal dengan harta haram/syubhat. Harta halal adalah yang berasal dari gabungan antara iuran peserta dengan iuran pemberi kerja (perusahaan). Sedangkan harta syubhatnya berasal dari investasi yang mencampuradukkan antara yang halal dengan yang haram; dan harta haram lebih berpotensi karena bentuk investasi haramnya lebih banyak.
Adapun bagi mereka yang mengikuti DPLK, yang menurut undang-undang di Indonesia harus melibatkan pihak kedua (bank), maka statusnya jelas haram. Karena semua bentuk asuransi komersial identik dengan qimar (judi). Sebagaimana difatwakan oleh Majma’ al Fiqh al-Islamiy, yang terjemahannya sebagai berikut:
Al-hamdulillâh, wash-shalâtu was-salâmu ‘ala Rasulillâh, wa ‘ala âlihi wa shahbihi, ‘amma ba’du:
Dalam seminar putaran pertama, yang diadakan di Mekkah pada tanggal 10 Sya’ban 1398 H, dan berlokasi di kantor Rabithah Alam Islami, Majma’ al Fiqhy al-Islamy membahas masalah “asuransi” dalam semua bentuknya. Setelah menelaah banyak hasil riset para ulama dalam masalah ini, dan setelah menelaah pula hasil keputusan Majlis Hai’ah Kibar Ulama Arab Saudi dalam seminar ke-10nya di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, yang mengeluarkan keputusan no. 55 yang mengharamkan semua bentuk asuransi komersial. Setelah menelaah hal-hal tersebut dan setelah melakukan kajian yang cukup dan mendiskusikan hal tersebut di antara anggota Majma’, maka seluruh anggota Majma’ -selain Fadhilatusy-Syaikh Musthafa az-Zarqa- sepakat mengharamkan asuransi komersial dalam semua bentuknya; baik asuransi jiwa, asuransi barang dagangan, atau yang lainnya. Keputusan ini diambil berdasarkan dalil-dalil berikut:
Pertama, akad asuransi komersial termasuk akad mu’âwadhah mâliyah[3] yang mengandung gharar fâhisy (resikonya sangat besar). Karena peserta asuransi tidak tahu berapa banyak yang harus ia bayarkan dan berapa yang akan ia terima, saat akad tersebut berakhir. Ia boleh jadi membayar premi sekali atau dua kali, lalu terjadi musibah sehingga mendapat dana asuransi yang dijanjikan oleh pihak asuransi. Atau membayar seluruh premi namun tidak mendapatkan apa-apa karena tidak terjadi musibah. Demikian pula pihak asuransi, ia tidak dapat menentukan jumlah total uang yang akan diberikan kepada koleganya, dan tidak pula bisa membatasi berapa jumlah maksimal premi yang harus dibayarkan. Padahal dalam hadits shahîh Rasûlullâh melarang jual beli yang bersifat gharar (untung-untungan).
Kedua, akad asuransi komersial identik dengan perjudian, karena ada unsur mengadu nasib dalam pengelolaan harta untuk mencari keuntungan. Ia juga bisa menimbulkan kerugian tanpa kesalahan apa-apa, atau sebaliknya mendatangkan keuntungan tanpa imbalan sama sekali, atau dengan imbalan yang tidak setara. Karena si peserta mungkin baru membayar premi satu kali lalu mendapat musibah sehingga yang rugi adalah pihak asuransi. Atau tidak terjadi apa-apa, sehingga pihak asuransi mengambil uang premi tanpa imbalan apa-apa. Bila suatu transaksi dilingkupi oleh kemisteriusan seperti ini, berarti ia termasuk gambling (judi), dan termasuk dalam firman Allâh:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ – اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allâh dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). [al-Mâ-idah/5:90-91].
Ketiga, akad asuransi komersial mengandung unsur riba fadhl dan riba nasi`ah. Sebab ketika pihak asuransi menyerahkan uang asuransi kepada pesertanya, atau kepada ahli warisnya, atau pihak yang menerima manfaat dari asuransi tersebut; dan ia memberikannya lebih besar dari jumlah total premi yang dibayarkan, berarti termasuk riba fadhl. Lalu karena pihak asuransi tadi membayarkannya setelah jangka waktu tertentu, berarti mengandung pula riba nasi`ah. Namun jika pihak asuransi –setelah jangka waktu tertentu- hanya memberikan uang yang sama besarnya dengan total premi yang ia terima, berarti hanya mengandung riba nasi`ah saja. Sedangkan kedua macam riba tadi diharamkan berdasarkan nash dan ijma’.
Keempat, akad asuransi komersial termasuk jenis penggadaian (rahn) yang diharamkan. Sebab, baik si penjamin maupun penerima jaminan berada dalam resiko besar (gharar) sekaligus gambling (berjudi/mengundi nasib). Sedangkan Islam tidak membolehkan penggadaian kecuali dalam hal-hal yang menguntungkan Islam dan meninggikan syariatnya melalui hujjah maupun senjata. Nabi n bahkan membatasi keringanan bolehnya gadai dengan imbalan hanya pada tiga hal, yaitu dalam sabda beliau:
لَا سَبَقَ إِلاَّ فِي خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ
Tidak boleh ada sabaq[4] kecuali berupa balapan unta, balapan kuda, atau lomba memanah.[5]
Sedangkan asuransi tidak memiliki kemiripan sedikitpun dengan hal tersebut, sehingga ia termasuk taruhan yang diharamkan.
Kelima, akad asuransi komersial mengandung unsur mengambil harta tanpa imbalan apa-apa. Sedangkan mengambil harta tanpa imbalan dalam akad mu’âwadhah komersial hukumnya haram, karena ia termasuk dalam keumuman firman Allâh:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian secara batil, kecuali dalam bentuk jual-beli atas dasar kerelaan dari kalian. [An-Nisâ’/4:29]
Keenam, akad asuransi komersial mengharuskan sesuatu yang secara syar’i tidak diharuskan. Sebab peserta asuransi tidak menciptakan musibah dari dirinya sendiri, dan bukan ia yang menjadi penyebabnya. Yang ia lakukan sekedar membuat akad dengan pihak asuransi untuk menjamin dirinya dari bahaya yang diprediksi akan terjadi, dengan imbalan uang yang dibayarkan kepada pihak asuransi. Sedangkan pihak asuransi sendiri tidak melakukan apa-apa bagi si pembayar, sehingga hal tersebut menjadi haram.[6]
Jadi, jelaslah bahwa mengikuti DPLK yang pasti melibatkan lembaga asuransi,[7] merupakan sesuatu yang diharamkan. Adapun status uang pensiun yang diterima, maka sama seperti yang sebelumnya. Yaitu ia hanya berhak mendapatkan dalam jumlah total yang sama besar dengan premi-premi yang telah dibayarkannya. Ini bagi yang terlanjur mengikuti DPLK, adapun yang belum terlanjur, maka secara syar’i ia tidak boleh masuk ke dalam sistem yang diharamkan.
Bila seseorang telah menerima uang pensiunan yang setara dengan total premi yang ia bayarkan, maka selebihnya harus ia belanjakan untuk kegiatan sosial tanpa mengharap pahala. Persis seperti menyikapi uang riba/bunga bank. Ia tidak boleh memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, namun hendaklah disedekahkan kepada fakir miskin atau dipakai untuk pembiayaan fasilitas umum.
KESIMPULAN
Status uang pensiunan ditentukan oleh beberapa faktor berikut.
Pertama, jenis pekerjaan yang dilakukan; bila pekerjaannya halal, maka gajinya pun halal, sehingga uang pensiunan yang berasal dari potongan gaji pada dasarnya halal. Sebaliknya, jika jenis pekerjaannya haram, seperti pegawai bank misalnya; maka uang pensiunannya otomatis haram, karena ia berasal dari gaji yang haram. Keharaman ini berlaku bagi yang mengetahui haramnya bekerja di Bank. Misalnya, bila seseorang pernah menjadi pegawai Bank selama 20 tahun, namun ia baru tahu keharaman kerja di Bank 10 tahun terakhir, maka pensiun yang boleh diterima hanyalah yang terkumpul dari potongan gajinya selama 10 tahun pertama saja. Demikian yang dinukil oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dari guru beliau, Syaikh Bin Baz.[8]
Kedua, jenis program pensiun yang diikuti. Bila mengikuti PPIP, maka yang uang pensiun yang halal ialah yang berasal dari iuran peserta dan iuran perusahaan saja, adapun selebihnya adalah uang haram karena merupakan hasil investasi dengan cara-cara ribawi. Sedangkan bagi yang mengikuti PPMP, maka yang halal ialah yang berasal dari iuran perusahaan dan iuran tambahan (bila ada); demikian pula jika dalam prakteknya peserta dikenai iuran pula, maka gabungan dari kedua atau ketiga iuran tadilah yang berhak ia terima. Adapun selebihnya bersifat riba yang haram.
Ketiga, pengelola dana pensiun itu sendiri. Bila dikelola oleh DPLK, maka keharamannya jelas, karena menggunakan sistem asuransi. Namun bila dikelola oleh DPPK, maka tak lepas dari syubhat dan perlu kejelian untuk memilah antara yang halal dengan yang haram.
PENUTUP
Sebagai penutup, mungkin ada sebagian kalangan yang berbeda pendapat dengan kami dalam menghukumi uang pensiun. Biasanya mereka berpijak pada sejumlah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Dâ-imah atau beberapa ulama secara perorangan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa mereka berfatwa sesuai dengan kondisi yang berlaku di negara masing-masing; atau sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh si penanya. Oleh karena itu, tidak seyogyanya fatwa-fatwa tadi diterapkan begitu saja pada negara lain yang sistemnya jauh berbeda dengan negara tempat keluarnya fatwa, atau negara tempat si penanya. Bahkan ada di antara para ulama yang sama sekali tidak mau menerima uang pension, seperti Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, yang notabene adalah salah seorang anggota Lajnah Dâ-imah itu sendiri.
Adapun fatwa Lajnah Dâ-imah yang menganggap uang pensiun sebagai sesuatu yang halal, karena merupakan bantuan/penghargaan pemerintah kepada para pegawai yang telah mengabdi untuk kepentingan negara. Ini tentunya tidak sama dengan sistem yang berlaku di Indonesia. Karena ternyata di negara kita dana pensiun tidak 100% dari bantuan pemerintah, bahkan sebagiannya adalah hasil investasi yang tidak jelas. Atau kalau ia peserta DPLK, berarti terjerat dalam sistem asuransi komersial yang haram. Lagi pula, yang menjadi patokan dalam hukum syar’i adalah hakikat sesuatu itu sendiri dan bukan namanya. Biarpun sama-sama dinamakan uang pensiun, namun jika hakikatnya adalah asuransi komersial (DPLK), maka hukumnya tetap haram.
Catatan:
Bila si penerima uang pensiun tergolong fakir, maka –menurut sejumlah ulama- ia boleh menggunakan uang tersebut bagi kepentingan pribadinya sekadarnya (sebatas kebutuhannya), walaupun sebagian harta tadi berstatus haram.
Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (9/351) Imam Nawawi menukil dari al-Ghazali sebagai berikut, “Jika ia memiliki harta haram dan ingin bertaubat serta melepaskan diri darinya, maka jika ia mengetahui pemilik uang tersebut secara pribadi, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, atau kepada wakilnya. Jika si pemilik telah wafat, maka diserahkan kepada ahli warisnya. Namun jika pemiliknya tidak diketahui dan tidak mungkin dipastikan orangnya, maka hendaklah harta tersebut dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum Muslimin secara umum, seperti pembangunan jembatan, masjid, kemaslahatan jalan, dan semisalnya yang dipakai secara bersama oleh kaum muslimin. Kalau tidak bisa seperti itu, maka boleh disedekahkan kepada orang fakir atau kaum fuqara’… Jika ia menyedekahkannya kepada orang fakir, maka harta tersebut tidak menjadi haram bagi si fakir, namun ia berstatus halal dan baik baginya. Dia (pemegang harta haram tadi) juga boleh bersedekah kepada diri dan keluarganya kalau memang dia juga fakir. Sebab bila keluarganya tergolong fakir, maka sifat kefakiran ini terwujud pada mereka, bahkan mereka lebih berhak disedekahi. Dia juga boleh mengambil sebagian harta tadi bagi dirinya sekadarnya, sebab ia juga fakir.
Pendapat yang dinyatakan al-Ghazali dalam masalah ini, juga dinyatakan oleh ulama syafi’iyyah lainnya, dan pendapat mereka memang benar. Al-Ghazali juga menukil pendapat ini dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para salaf lainnya, termasuk Ahmad bin Hambal, al-Harits al-Muhasibi, dan orang-orang wara’ lainnya. Alasannya, karena uang haram tersebut tidak boleh dihanguskan dan dibuang ke laut (atau sampah), sehingga tidak ada pilihan lain kecuali dengan membelanjakannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Wallâhu Ta’ala a’lam.[9]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat: www.bapepamlk.depkeu.go.id/dana_pensiun
[2] Anuitas adalah suatu rangkaian penerimaan atau pembayaran tetap yang dilakukan secara berkala pada jangka waktu tertentu.
[3] Alias transaksi ekonomi yang tujuan dasarnya mencari imbalan atau manfaat duniawi. Seperti akad jual beli dan sewa-menyewa, baik terhadap barang maupun jasa.
[4] Sabaq, artinya perlombaan berhadiah yang hadiahnya berasal dari sebagian peserta lomba itu sendiri, alias semacam taruhan. Dan taruhan itu sendiri identik dengan menggadaikan harta untuk sesuatu yang tidak jelas nasibnya.
[5] HR Ahmad dan Ashabus-Sunan, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jami’, no. 13.455.
[6] Dinukil dan diterjemahkan secara ringkas dari: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=7394
[7] Dalam brosur Biro Dana Pensiun, disebutkan ada 24 bank dan perusahaan asuransi yang menangani DPLK. Semuanya adalah bank konvensional (ribawi) dan asuransi komersional.
[8] Diringkas dari pertanyaan no. 12.397 di situs (موقع الإسلام سؤال وجواب) dengan judul (مكافأة نهاية الخدمة لموظفي البنك).
[9] Lihat (موقع الإسلام سؤال وجواب) fatwa no 167.645 dengan judul (حكم راتب التقاعد).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3893-uang-pensiun-halal-ataukah-haram.html